25 September 2008

Kesukarelaan Terpaksa

Pengelolaan Hutan Biaya Murah (PHBM)

Desa Tambaksari adalah salah satu desa yang terletak di lereng timur gunung Arjuna. Secara administratifdesa Tambaksari berada di wilayah kecamatan Purwodadi kabupaten Pasuruan. Desa Tambaksari berpenduduk 4764 jiwa yang menempati 780 Ha. Dari 2300 KK, 90% perekonomiannya digerakkan dengan pertanian. Seperti dalam sejarah panjang bangsa Indonesia sebagai petani bukanlah sebuah kegiatan perekonomian di masyarakat yang layak mendapatkan tempat dalam strata sosial. Karena pendapatan masyarakat petani masih jauh di bawa rata-rata. Sehingga pesan orang tua di desa kepada anaknya “sekolahlah yang pandai Nak, jangan seperti bapakmu ini
hanya sebagai petani” itu adalah ungkapan umum di masyarakat desa yang rata-rata mayarakatnya adalah petani. Batas selatan desa Tambaksari adalah kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Pasuruan BKPH Lawang Barat RPH Jatiarjo. Sebagai desa yang bertetangga dengan hutan masyarakat desa Tambaksari jugatidak ketinggalan dengan program PHBM-nya Perum Perhutani. Hampir dari seluruh warga desa memiliki lahan kelola di kawasan Perhutani. Dalam kegiatan mereka di dalam kawasan hutan adalah melakukan penanaman yang diperintahkan oleh Perhutani setiap kali ada penanaman. Saat tanaman kayu tumbuh masyarakat petani melakukan perawatan sampai dengan kayu dewasa. Bahkan diminta menjaga dari pencurian selama mereka megelola lahan tersebut. Yang lebih lagi kalau terjadi kerusakan terkadang masyarakat masih di mintai pertanggungan jawab atas kerusakan yang terjadi dengan mengganti tanaman dan mengerjakan penanamannya. Sambil melakuakn tugas mulianya itulah masyarakat petani desa Tambaksari melakukan aktifitasnya dengan kegiatan pengembangan budidaya kopi rakyat disela-sela tanaman Perhutani.

Keterampilan masyarakat desa Tambaksari dalam budidaya kopi kemampuannya tidak diragukan lagi. Prestasinya dalam pengembangan kopi, produknya menjadi kopi bubuk terbaik di Pasuruan. Produksi mereka dalam satu musim bisa mencapai 90 ton.

Akan tetapi nasib petani, sepertinya dewi fortuna tidak pernah berpihak kepada petani desa Tambaksari (mungkin desa pinggir hutan lainnya). Disamping harus melakuakn tugas yang dibebankan kepada masyarakat untukl menjaga kekayaan Perhutani, mereka masih diminta setor kepada Perhutani dengan alasan shering hasil. Jumlah yang harus disetor kepada Perhutani per tahun rata-rata mencapai 30 ton kopi basah yang kalau dirupiahkan (asumsi Rp 3.000/kg, harga th 2008 mencapai Rp 4.000/kg) mencapai Rp 90.000.000. Belum lagi petani masih harus membayar Rp.150.000 /Ha/tahun. Betapa besar yang harus di bayar masyarakat desa kepada Perhutani, lima kali lipat lebih besar dari jumlah pajak yang harus disetor oleh pemerintah desa Tambaksari kepada negara, yang nilainya hanya Rp. 17.000.000. Padahal pemerintah desa untuk mengajukan dana pembangunan melalui PNPM yang dikembangkan oleh pemerintah, dengan harapan menjadi desa yang layak seperti desa lainnya di kota. Mereka harus antri dalam setahun dan masih harus dilombakan dengan desa lain di kecamatannya. Sementara dana yang mengimbangi dengan program pemerintah tersebut harus di setor untuk menghidupi perusahaan yang tidak jelas peruntukannya.

Andaikan dana yang demikian tersebut dikembangkan dan dikelola di desa sendiri, pastilah pemerintah desa Tambaksari akan turut memerankan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan yang saat ini menjadi perhatian utama pemerintah. Rakyat di desa Tambaksari tidak lagi perlu Dana BLT yang dikembangkan pemerintah dan mungkin desa-desa pinggir hutan lainnya juga akan demikian.

Kemistinan sangatidentik dengan masyarakat yang tinggal di desa yang berbatasan dengan hutan seperti yang ditulis oleh Nency (penetiti dari USA tentang sosial masyarakat yang berada di desa yang berbatasan dengan hutan) dalam bukunya “Hutan Kaya Rakyat Melarat” mengapa masyarakat yang tinggal berbatasan dengan hutan tidak bisa hidup dengan layak padahal mereka dikelilingi oleh sumberdaya yang semestinya bisa membuat mereka sejahtera. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemangku kawasan tidak berpihak kepada masyarakat. Bahkan yang terjadi adalah penjajahan model baru di negri ini oleh bangsa sendiri.

Bersama ini kami mengundang peran para pimpinan kami yang berada di atas sana untuk turut memikirkan keadaan masyarakat desa pinggir hutan. Agar yang selama ini masyarakat desa pinggir hutan yang identik dengan kemiskinan selalu menjadi beban pemerintah sebenarnya mereka memiliki potensi untuk mengembangkan diri mereka.